Terorisme dan Anak-anak

Oleh : Akbar Mohammad Arief, S.I.P., M.Si.
Alumni Program studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia


Generasi muda khususnya anak-anak merupakan generasi penerus masa depan dunia ini, maka dari itu kita semua sebagai warga dunia memiliki peranan penting untuk melindungi masa depan dari anak-anak ini. Pada Konvensi Hak Hak Anak tahun 1989 yang diberlakukan oleh PBB dan diratifikasi oleh seluruh negara anggota PBB, konvensi ini mendefinisikan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan, makanan, perlindungan dari bahaya dan jaminan kesehatan. Selain itu, konvensi ini juga mengatur kewajiban negara negara untuk melindungi anak- anak yang menjadi warga negara mereka dari perekrutan menjadi tentara anak-anak dan buruh dibawah umur (United Nations, 2020).

Dunia pada masa sekarang ini menghadapi ancaman dari aksi terorisme yang dilakukan oleh berbagai kelompok- kelompok teror di dunia. Tercatat bahwa rata rata 21,000 orang di dunia kehilangan nyawanya sebagai akibat dari serangan teror, dan terdapat peningkatan jumlah kematian akibat serangan teror yang signifikan pada rentang waktu 2010-2014, dimana 7,827 jiwa meregang nyawa akibat serangan teror pada tahun 2010 dan 44,490 orang kehilangan nyawanya akibat serangan teror di tahun 2014 (Ritchie, Hasell, Appel, & Roser, 2019). Aksi terorisme ini juga mengancam keamanan hidup anak-anak serta juga mengancam proses pemikiran anak-anak, anak-anak dapat menjadi korban serangan teror yang terjadi di berbagai belahan dunia, selain itu anak-anak juga berpotensi terpapar narasi-narasi kebencian dan ideologi ekstremis.

Aksi terorisme merupakan sikap ekstremisme dengan kekerasan yang dibentuk dan tumbuh dari suatu proses yang disebut dengan radikalisme.

Definisi radikalisme pada studi mengenai terorisme adalah sebuah proses mengubah pemikiran atau pemahaman seorang individu dalam tahap tahap menuju ekstremisme yang biasanya berujung pada aksi teror, radikalisme dapat tumbuh dan berkembang dari pemahaman yang salah dan cenderung fanatik akan sebuah ideologi Radikalisme dan ekstremisme yang menggunakan kekerasan mengancam kelangsungan hidup anak-anak di seluruh dunia, sejak usia dini anak-anak di berbagai belahan dunia memiliki potensi untuk terpapar radikalisme dan melakukan aksi teror. Salah satu faktor yang membuat proses radikalisme dan ekstremisme berkembang pesat adalah narasi-narasi kebencian, anak-anak di seluruh penjuru dunia saat ini terancam paparan segala bentuk narasi kebencian yang mereka dapatkan dari berbagai sumber seperti internet, lingkaran pergaulan hingga keluarga mereka sendiri (Chamidi, 2019).

Meskipun keterlibatan anak-anak pada aksi teror kerap menjadi perdebatan antara pendefinisian anak-anak tersebut sebagai korban maupun pelaku, namun tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak juga merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengatasi ekstremisme dengan kekerasan dan melawan aksi terorisme secara umum. Sebagai contoh, seorang warga Inggris yang bernama Shamima Begum meninggalkan rumahnya pada umur 15 tahun untuk berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS (Jorgensen, 2019). Shamima kemungkinan besar nekat untuk meninggalkan rumahnya dan berangkat ke Suriah setelah terpapar propaganda-propaganda ISIS yang berisi narasi kebencian terhadap musuh-musuh mereka dan janji-janji ISIS akan kehidupan yang lebih baik dan surga bagi para pengikut ISIS di akhirat kelak.

Selain Shamima, masih banyak anak-anak di dunia ini yang menjadi teroris atas dasar motivasi apapun, baik melalui keinginan sendiri maupun paksaan. Dalam skema perekrutan teroris, anak-anak sampai usia 18 tahun memiliki berbagai motivasi seperti: Pencarian jatidiri melalui identitas kelompok, faktor ideologi yang ditawarkan oleh kelompok teror, narasi mengenai ancaman dan kebencian terhadap golongan lain di luar golongan dari anak tersebut, kemungkinan untuk mendapatkan ketenaran dan rasa hormat dari lingkungannya, perekrutan melalui koneksi pribadi seperti keluarga maupun teman sebaya (Darden, 2019).

Perekrutan kelompok teror terhadap anak-anak juga dapat terjadi melalui paksaan. Pada tahun 1987 sebuah organisasi teror bernama Lord Resistance’s Army (LRA) di Uganda kerap menculik, mengintimidasi dan mempersenjatai anak-anak, tercatat sebanyak 20,000 anak di Uganda menjadi tentara/teroris anak dengan paksaan pada saat itu. Pada saat ini, ISIS tercatat telah menculik ribuan anak-anak dari berbagai daerah kekuasaannya pada masa pendudukan ISIS untuk dijadikan teroris anak (Darden, 2019). Selain karena penculikan, terdapat pula anak-anak yang dengan sukarela bergabung dengan ISIS karena pengaruh dan dukungan dari kedua orang tuanya untuk menjadi seorang kombatan.

Penculikan dan perekrutan anak secara paksa untuk menjadi tentara/teroris anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok teror, bentuk eksploitasi lainnya terhadap anak, terutama anak perempuan adalah pelacuran anak, perbudakan seks anak dan pernikahan paksa antara anak-anak dan anggota kelompok teror. Seperti pada kasus Shamima, meskipun ia berangkat ke Suriah atas keinginannya, namun ia juga dapat disebut telah mengalami eksploitasi karena tidak ada bukti konkrit apakah Shamima menjadi seorang pengantin di bawah umur bagi seorang anggota ISIS berdasarkan kemauannya atau atas dasar paksaan (Jorgensen, 2019).

Dalam upaya melindungi anak-anak dari pengaruh narasi kebencian dan pemaksaan anak-anak untuk menjadi anggota kelompok teror merupakan tugas semua kalangan yang bertanggung jawab pada kehidupan anak, mulai dari lingkungan keluarga hingga negara tempat kewarganegaraan anak tersebut. Narasi kebencian dapat dilawan dengan upaya-upaya kontra narasi, yang dilakukan dengan mendidik orang tua anak untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan anti ekstremisme pada anak-anak sedari usia dini, terutama dari segi pengamalan ilmu ilmu agama dan juga nilai nilai mengenai keberagaman di dunia ini.

Perlindungan bagi pemaksaan anak-anak untuk menjadi kelompok teror juga dapat dilakukan oleh negara atau aktor terkait lainnya yang memiliki kapasitas untuk melindungi anak-anak di medan perang dari kelompok-kelompok teror. Dalam kasus Indonesia institusi pendidikan dan organisasi keagamaan seperti MUI, NU dan Muhammadiyah dapat berperan untuk melakukan pencegahan awal terhadap eksploitasi anak yang dilakukan oleh kelompok teror, dengan melakukan pemantauan pada anak-anak yang tergabung dalam institusi-institusi pendidikan mereka, dan apabila diperlukan sebuah tindak lanjut, dapat diteruskan kepada instansi terkait untuk penanganan lebih lanjut.

Meskipun banyak cara untuk melindungi anak-anak dari bahaya radikalisme/ekstremisme dan terorisme, persebaran informasi yang begitu bebas di internet dan interaksi tanpa batas yang diberikan oleh media sosial tetap menjadi ancaman terbesar dalam menyeret anak-anak pada spektrum radikalisme dan ekstremisme. Maka dari itu dalam penanganannya pemerintah selaku aktor yang paling berkuasa dalam persebaran informasi di sebuah negara harus dengan sigap menjaga persebaran informasi yang terdapat di internet, dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah segala jenis narasi kebencian dan sosialisasi yang dapat berujung pada radikalisasi dan eksploitasi kelompok teror terhadap anak.

Mengingat anak-anak adalah masa depan bagi dunia ini, maka diperlukan kesadaran dan tindakan nyata untuk dapat melindungi anak-anak dari bahaya-bahaya yang diakibatkan oleh narasi kebencian yang dapat berujung pada radikalisme dan ekstremisme. Tugas ini tidak hanya merupakan tugas suatu instansi tertentu, namun sudah menjadi tanggung jawab seluruh warga dunia untuk ikut berkontribusi melindungi anak-anak dari pengaruh-pengaruh berbahaya yang disebarkan oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab.


Referensi :

  • Chamidi. (2019, 12 22). Kunjungan rumah program deradikalisasi LSM ACCEPT International. (A. Arief, Interviewer)
  • Darden, J. T. (2019). Tackling Terrorists’ Exploitation of Youth. United States of America: American Enterprise Institute.
  • Jorgensen, N. (2019, June 30). Children associated with terrorist groups in the context of the legal framework for child soldiers. Retrieved from Questions of International Law: http://www.qil-qdi.org/children-associated-with-terrorist-groups-in-the-context-of-the-legal-framework-for-child-soldiers/#_ftn1
  • Ritchie, H., Hasell, J., Appel, C., & Roser, M. (2019, July). Terrorism. Retrieved from Our World in Data: https://ourworldindata.org/terrorism#how-many-people-are-killed-by-terrorists-worldwide
  • United Nations. (2020, January 4). Global Issues, Children. Retrieved from United Nations: https://www.un.org/en/sections/issues-depth/children/index.html