PCI Feature: Integrasi Hidup dan Kerja Menurut M. Abie Zaidannas

Ditulis oleh Mikhael Sianturi, Content Writer Intern of Project Child Indonesia

PCI Feature kembali lagi untuk menutup bulan April yang lewat dengan sekejap. Waktu yang cepat berlalu banyak dialami orang-orang karena waktu mereka yang banyak digunakan untuk bekerja. Oleh karena itu, banyak orang merasa cepat lelah, atau istilah yang lebih tepatnya yaitu “burnout”.

Waktu bekerja dalam satu hari yang paling umum adalah selama 8 jam. Durasi tersebut sudah ⅓ dari keseluruhan waktu dalam sehari dan sayangnya tidak menyisakan banyak waktu untuk kegiatan-kegiatan esensial yang lain. Namun, untuk banyak orang lain juga, demi menghasilkan uang yang cukup, banyak orang bekerja lebih dari 8 jam. 

Banyak orang berusaha untuk menyeimbangkan proporsi waktu antara jam kerja dan jam untuk hanya menikmati apa yang hidup punya untuk kita di luar kerja. Usaha mereka pada umumnya adalah memberi garis keras untuk memisahkan kedua aspek ini. Namun, menurut Mas Abie Zaidannas Suhud, jika kondisi mengizinkan, ada alternatif lain.

Work-Life Integration

Ketika diwawancarai mengenai menyeimbangkan aspek hidup (keluarga, teman, dsb) dan bekerja, Mas Abie merasa tidak bisa menjadi narasumber yang baik karena latar Mas Abie yang memang workaholic sejak SMA. Justru, Mas Abie memperkenalkan sebuah konsep bernama “Work-Life Integration”. Seperti yang dimaksud oleh nama konsepnya sendiri, alih-alih menyeimbangkan proporsi waktu yang dimakan oleh masing pekerjaan dan kehidupan, mereka justru diintegrasikan, atau digabungkan. 

“Aku tidak mencoba memisahkan secara distinct kerja dan tidak kerja. Ketika kerja, aku bisa jadi di jam-jam yang normal ini, aku bisa jadi nonton Netflix. Dan di jam-jam orang tidur, aku bisa aja lagi kerja. Jadi, instead of aku mencoba balancing life dan work, aku coba integrate. Ini satu konsep yang aku baru kenal beberapa tahun ini, yaitu Work-Life Integration.”

Tujuan Konsep Integrasi Kerja-Hidup

Tentunya dalam hidup, kita semua pasti mengalami saat di mana kita merasa sangat lelah, dan juga merasa tidak produktif, bukan karena performa kita yang buruk namun hanya karena tuntutan pekerjaan sedang tidak tinggi. Mas Abie menyampaikan bahwa walaupun ini tidak terlihat seimbang, tujuan konsep ini adalah mencapai stabilitas performa bekerja dan performa hidup.

“Garisnya memang blur antara life dan work. Kalau ditanya apakah balance, ada sense of balance-nya. Dan ini karena sebenarnya tujuan konsep ini bukan untuk meraih that sense of balance, tetapi untuk meraih performa optimum untuk kedua elemen agar kegiatan-kegiatan di masing aspek benar-benar produktif dan memuaskan. Di saat kita kerja, kita benar-benar kerja. Dan di saat kita istirahat, kita benar-benar istirahat. Jadi aku tidak mencoba menarik distinction yang jelas antara keduanya. Karena ini adalah salah satu prinsip dari Work-Life Integration, a good personal life will support your career, and a good career will provide you a good life, too. Yang satu men-support yang lain.”

Elemen di Belakang Layar

Ada elemen-elemen yang lahir ketika kedua aspek (hidup dan pekerjaan) bersinergi bersamaan demi teraihnya performa yang seperti disebut oleh Mas Abie. Dari sisi bekerja, elemen yang dapat mendukung kehidupan pribadi agar lebih baik adalah self-actualization, financial benefit, dan personal development. Dari sisi hidup, ada mental wellbeing dan health wellbeing. 

“Dari elemen-elemen ini, aku akan bisa kerja lebih baik di saat harus bekerja, dan aku akan bisa lebih enjoy myself ketika memang sedang waktunya.”

Namun, Mas Abie menyampaikan bahwa konsep ini bukan untuk semua orang. Jika kondisi mengizinkan, Work-Life Integration bisa menjadi sebuah pilihan. Namun, tidak semua orang memilih opsi ini dan bisa memilih.

Sebuah Opsi untuk Sebagian Orang

“Konsep Life-Work Integration ini bisa menjadi pilihan, namun bisa juga menjadi sesuatu yang orang-orang tidak bisa pilih. Dan it doesn’t work for everyone, for example, aku dan Kak Ayya (Surayah Ryha), executive director kita. Sebetulnya, aku dan Kak Ayya sama-sama bisa menerapkan konsep ini. Namun, Kak Ayya sangat strict mengenai jam boleh menghubungi kalau mau menyentuh topik pekerjaan. Dan selain itu, jenis profesi juga mempengaruhi. Mungkin, susah untuk menerapkan konsep ini di profesi kedokteran yang tidak membolehkan kita makan siang saat jam praktek. Jadi itu, tidak semua orang memilih konsep ini dan bisa memilih. Tapi, jika kamu bekerja di bidang kreatif yang tidak membutuhkan kamu untuk terikat di 1 tempat terus, apalagi di zaman yang semua bisa serba online, siap-siap saja koneksi itu 24 jam terus, tapi tetap bisa menjaga mental dan health wellbeing.”

Pesan untuk Intern Batch #33 

Untuk menutup sesi wawancara, Mas Abie ditanyakan sebuah pesan bagi orang-orang yang tertarik untuk magang di Project Child Indonesia (PCI). Berikut adalah pesannya. 

“Anak-anak magang PCI itu aku lihat adalah yang kerjanya mengandalkan kreativitas dan yang mendekati itu. Cobalah mindset ini: kerja itu akan membawa hidup yang baik dan hidup yang baik akan membantu kita di kerja. Dan coba jangan terlalu rely dengan mindset: kalau kita sedang menjalani kehidupan personal, kita tidak mau memikirkan tentang pekerjaan sama sekali, dan pas kita kerja, kita berpikir kalau kita sedang tidak enjoy life. Pada akhirnya, batas antara kedua hal ini harus ada, namun keberadaannya lebih baik tidak selalu ada. Lalu, PCI itu sangat fleksibel, yang memberikan kita privilege that allows us to have this kind of mindset. Fleksibilitas itu memberikan staff-staff kesempatan untuk bereksperimen, karena PCI itu bisa dibilang sebuah laboratorium. Jika kita punya ide yang bisa mendukung PCI in any possible way, atasan PCI akan berpikir secara terbuka. Contohnya adalah ketika Mas Fajar dan aku mikir untuk membuka sekolah sungai di sungai-sungai lain. Akhirnya kan, sekarang ada di Gajahwong, Code, dan Winongo.”