Hello Me! Let’s Be Friend

Ditulis oleh Nindy Silvia Anggraini, Penulis Konten Project Child Indonesia

Aku terlahir sebagai makhluk sosial. Berinteraksi dengan orang lain sudah menjadi sebuah tuntutan bahkan sejak sebelum aku dilahirkan. Di Umurku yang masih balita ibu dan ayah mengajariku cara berbicara yang tujuannya adalah membangun komunikasi dengan mereka. Beranjak dewasa, aku dipertemukan dengan lingkungan yang lebih luas. Sekolah menuntutku untuk bersosialisasi, berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan mereka orang-orang di sekitarku. Kata orang, paling tidak kita harus memiliki satu teman yang akan selalu ada untuk kita untuk bertahan hidup. Tempat kita berbagi cerita, berkeluh kesah, tertawa, menangis, melakukan banyak hal bersama. Kata orang, kita tidak bisa hidup sendirian. Kata orang, hidup akan lebih ringan bila dipikul bersama. Oleh karena itu aku dituntut sejak kecil untuk selalu bersikap baik didepan banyak orang. Mengumpulkan orang-orang yang bisa kujadikan “temanku” agar aku tidak kesepian. Aku berusaha menahan egoku untuk bisa menerapkan nilai “saling” dalam sebuah hubungan pertemanan. Saling berbagi, saling mengerti, saling menyayangi, semuanya hubungan timbal balik. Tapi sebentar, bolehkah aku berfikir sedikit aneh dan berbeda dari kalian?

Aku mengakui bahwa aku makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Tapi jangan lupakan fakta bahwa manusia juga makhluk individu dengan kepentingan dan kesusahan mereka masing-masing. Aku adalah aku dengan kesusahan, kesenangan, tanggung jawab dan hak ku sendiri. Menurutku, seberapa dalam kita membangun sebuah hubungan pertemanan atau apapun itu, pada akhirnya kita akan berjuang sendiri demi diri kita sendiri. Sejak awal aku sedikit tidak setuju dengan nilai dasar dari hubungan pertemanan “saling”. Aku tahu mereka teman-temanku memiliki masalahnya dan kegembiraannya sendiri, dan aku merasa tidak perlu menambah bebannya untuk memikirkan tentang masalah yang kumiliki. Tidak, tidak berarti aku menyalahkan nilai persahabatan yang indah itu. Aku sangat menyukai ketika ada seseorang yang selalu bersorak untuk kegembiraanku dan ikut menangis bersama kesedihanku. Tapi bukankah aku juga harus melakukan sebaliknya untuk “membalas” jasanya? Disinilah masalahku dimulai. Aku terlalu larut dengan tugasku sebagai teman dan melupakan bahwa aku adalah diriku sendiri. Bukan berlagak sok perhatian, tapi aku merasa terlalu banyak mengkhawatirkan lingkungan sekitarku dan melupakan diriku yang sedang berjuang sendirian.

 Tapi tidak ada kata terlambat untuk ini. Aku harus bisa bertahan menyandang label makhluk sosial sekaligus makhluk individu. Aku bersyukur atas kehadiran teman-temanku. Mereka sangat membantu masa-masa sulitku dan mereka juga ikut senang di saat-saat bahagiaku. Tapi mulai saat ini aku akan mulai berteman dengan diriku sendiri. Memahami, menghargai, menjaga, dan merawat diriku sendiri yang sudah berjuang melewati hari demi hari yang aku sendiri tidak dapat prediksi baik dan buruknya. Terimakasih sudah selalu bertahan dalam segala keadaan, selamat hari persahabatan, diriku!