Tunawisma yang Masih Berkembang di Indonesia

Written by Shania Amalia Hafta, Content Writer Intern at Project Child Indonesia

Homeless atau disebut sebagai tunawisma merupakan kasus yang masih harus diperhatikan. Walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 mengalami penurunan, tetapi status ini masih ditemukan di sekitar kita.

Peristiwa Tunawisma di Indonesia

Dilansir dari Kompas.com, pada 16 September 2022 terdapat keterangan bahwa ada seorang tunawisma yang ditemukan oleh warga telah meninggal di kolong jembatan Inspeksi Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur. Diketahui, Bapak tersebut berusia 57 tahun dan bisa mendapatkan makanan jika diberikan oleh warga sekitar. Bahkan, pada tahun 2021, ketika masa pandemi masih berlangsung ketat, masih ada Bapak berusia 68 tahun berkeliling mencari sampah untuk bertahan hidup selama adanya program PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Ada juga seorang tunawisma yang diduga oleh warga mengalami gangguan kejiwaan di daerah bagian provinsi Bengkulu, kemudian meninggal dunia karena dibunuh dengan senjata tajam.

Lalu, apa sebenarnya definisi Tunawisma?

Menurut Glasser (1994), tunawisma adalah kondisi yang terpisah dari masyarakat, tidak adanya ikatan atau lemahnya hubungan sosial dengan orang lain. Sedangkan menurut Tomas dan Dittmar (1995), seseorang dapat dikatakan tunawisma bukan hanya tidak memiliki tempat tinggal. Tetapi, juga adanya beberapa dimensi terkait, seperti kurangnya rasa aman dan kehangatan tubuh, emosional, tidak ada privasi, kurang ada rasa keterikatan dengan dunia, dan lemahnya kehadiran spiritualitas di dalam diri, seperti adanya harapan, memiliki tujuan hidup, dan bentuk keyakinan lainnya.

Berapa data kasus Tunawisma di Indonesia?

Menurut beberapa sumber, terdapat 3 juta tunawisma di Indonesia. Pada 2019, diperkirakan ada sekitar 77.500 gelandangan dan pengemis masih tersebar di kota-kota besar Indonesia. Pada tahun 2020, diketahui Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa, masalah gelandangan merupakan posisi teratas yang mengalami penyandang masalah kesejahteraan sosial, yaitu dengan jumlah 1.044 orang. Bahkan, pada tahun 2021, dilansir dari katadata.co.id, ada beberapa provinsi yang memiliki tingkat tertinggi jumlah gelandangan di desa/kelurahan, diantaranya adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan.

Mengapa orang dengan status tunawisma bisa muncul?

Menurut Mago, dkk., yang melakukan penelitian menggunakan Fuzzy Cognitive Map untuk memahami sebuah sistem sosial yang ada, tunawisma dapat bermunculan disebabkan adanya beberapa hal yang dihadapinya, seperti perumahan, akses layanan sosial, kondisi kesehatan mental, dukungan keluarga, asuransi, masalah pengangguran, dan peristiwa traumatis lainnya, seperti adanya pelecehan seksual di masa kanak-kanak dan pembelajaran. Ada juga dari sudut pandang postmodernisme, yaitu memahami arti dari kata ‘rumah’ tidak hanya sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai stabilitas, kenyamanan, keamanan, keselamatan, ekspresi diri, dan kesejahteraan fisik yang tidak bisa lepas dari kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang berlaku. Lalu, ada juga teori konstruksi sosial yang menjelaskan tentang perilaku manusia termasuk rasa ingin tahu, adanya keinginan dasar untuk merasakan keamanan, merefleksikan, dan menilai apa yang harus mereka lakukan di tengah-tengah struktur kekuasaan yang berlaku di kehidupan sosial. Selain itu, tunawisma dapat muncul disebabkan ketimpangan akan standar upah, ras, harga rumah, layanan kesehatan, baik fisik maupun mental.

Bagaimana caranya menanggulangi tunawisma?

Lakukan program preventif atau pencegahan terjadinya tunawisma, dengan mengadakan kegiatan penyuluhan, bimbingan, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, dan pengawasan dengan topik utama yang berkaitan dengan kondisi hidupnya, kondisi keluarganya, hubungan antara lalu lintas dengan tunawisma, dan rehabilitasi tunawisma. Berdasarkan salah satu penelitian, bisa juga menggunakan pendekatan panti untuk membangun komunikasi dan motivasi agar bangkit dari kondisi yang dihadapinya. Lingkungan Pondok Sosial juga bisa berperan dalam memberikan tempat tinggal untuk memiliki kehidupan yang layak. Lalu, bisa juga menggunakan metode transit home, yaitu merubah hidup tunawisma dengan memiliki tempat tingal yang layak dan memahami pembekalan diri agar siap bersosialisasi dengan kehidupan di masyarakat. Tetapi, ada juga yang menggunakan metode transmigrasi, yaitu mengirimkan para tunawisma ke luar daerah atau luar pulau untuk diberikan pemahaman mengenai kontribusi dan motivasi usaha yang dapat dilakukan di desa.

Apakah ada solusi lain untuk menangani tunawisma?

Semuanya tergantung pada pihak pemerintah yang memiliki tekad untuk mengatasi permasalahan tunawisma di Indonesia berdasarkan undang-undang dan hukum yang berlaku, seperti tentang kesejahteraan sosial, kesejahteraan anak, perlindungan anak, dan penangulangan gelandangan dan pengemis. Begitu juga dengan pihak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sebagai wadah untuk advokasi memahami persoalan kemiskinan serta aksi menyuarakan kebutuhan masyarakat. Tidak lupa juga, peran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung program penanggulangan tunawisma, sehingga menjadi langkah besar untuk membangkitkan motivasi tunawisma kembali menjalani hidup yang wajar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.