Emosi Meletup-Letup, Aku Harus Bagaimana?!

Written by Amaranila Nariswari, Content Writer Intern at Project Child Indonesia

Pernah nggak, kamu berada di fase di mana kamu merasa bahwa orang lain ‘tuh gagal dalam memahami emosi dalam dirimu, atau jangan-jangan, kamu lagi berada di fase tersebut? Kadang kala, fase tersebut diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait berbagai peraturan tidak tertulis yang membatasi kegiatanmu. Misalnya saja, setiap hari Sabtu kamu harus mengikuti kursus piano yang telah diatur oleh mama dan papa, sedangkan kamu bertanya-tanya, apa memang perlu kamu mengikuti kursus piano tersebut? Sayangnya, kamu tidak bisa bolos kursus secara sembarangan, selelah apapun diri kalian setelah satu minggu bergulat dengan kegiatan di sekolah. “Papa dan Mama nggak ngertiin aku banget, sih, aku kan ingin pergi ke mall juga seperti teman-temanku!”, begitu mungkin pikirmu. Jika sudah begitu, bagaimana sih cara kita menyikapi perasaan kalut tersebut?

Perlu dipahami bahwa pada taraf tertentu, perasaan-perasaan kalut seperti itu memang lumrah hadir di tengah-tengah masa pertumbuhan remaja. Biasanya ini terjadi ketika pola pikir para remaja mulai terbentuk secara konkrit. Kamu mungkin merasa tahu apa yang cocok dan tepat buatmu, tapi kamu tidak punya kemampuan untuk mewujudkan hal tersebut karena kamu masih berada di bawah pengawasan orang tua. Tidak jarang situasi ini bikin kamu ingin memberontak sehingga fase ini sering kali disebut sebagai rebel phase atau fase memberontak. Apa sih sebenarnya fase memberontak itu? Fase memberontak merupakan sebuah mekanisme yang dilalui remaja dalam menunjukkan eksistensi diri (Shepherd’s Hill, n.d). Kamu ingin menunjukkan bahwa kamu ‘ada’ dan ingin didengar serta diperhatikan. 

Mungkin kamu merasa asing dalam tubuh kamu sendiri, bertanya-tanya alasan di balik lonjakan emosi dalam diri tersebut. Tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja selama kamu bisa mengambil kontrol atas emosimu sendiri. Hal pertama yang dapat kamu lakukan adalah menelaah alasan-alasan apa saja yang sekiranya dapat memicu terjadinya lonjakan emosi secara spontan. Ketika kamu telah menemukan faktor apa saja yang membuatmu merasa risau, coba untuk komunikasikan hal tersebut kepada orang lain. Mari kita ambil contoh kasus di atas, misalnya saja, teman-temanmu mengajakmu pergi ke suatu mall di kota untuk membeli peralatan make up, padahal di hari yang sama kamu harus menghadiri kursus musik. Kamu mungkin merasa bingung, ingin sekali pergi ke mall bersama teman-teman, tapi tahu bahwa apabila kamu membolos, orang tuamu akan kecewa terhadapmu. Lantas, apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan?

Pertimbangkan pilihan-pilihan yang kamu punya. Apabila kamu pergi bersama teman-teman, kamu akan kehilangan satu materi dari tempat kursus, dan kamu harus mengejar ketertinggalan tersebut dengan belajar lebih lama satu atau dua jam di rumah. Apabila kamu pergi ke tempat kursus, teman-temanmu mungkin akan mencap dirimu sebagai teman yang tidak solid dan tidak asyik. Setiap pilihan memiliki bobotnya masing-masing. Selalu ada dua sisi dalam satu koin, begitu pula dengan pilihan-pilihan yang kita buat. Opsi yang terlihat lebih baik tidak selalu merupakan pilihan terbaik, dan bisa saja opsi yang kita pikir sembrono justru menghasilkan memori paling berharga dalam hidup kita. Lantas, ketika kita sudah menentukan pilihan, selanjutnya apa?

Komunikasi! Coba komunikasikan kerisauanmu kepada orang tua. Apabila kamu ingin istirahat selama satu pekan, katakan saja bahwa kamu ingin beristirahat dan pergi bersama teman-temanmu. Terkadang, sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran kita secara lisan, untuk itu, usahakan untuk menjelaskannya sebaik yang kamu bisa. Apabila kamu mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaanmu melalui ucapan, kamu bisa, lho, menyampaikannya melalui tulisan! Terkadang memang ada orang yang lebih mudah mengungkapkan perasaannya melalui tulisan dibandingkan dengan lisan, dan ketahuilah, itu sama sekali bukan masalah! Poin utama dari komunikasi adalah pesanmu tersampaikan dengan baik kepada pihak yang dituju. 

Tidak menutup kemungkinan bahwa permintaanmu akan ditolak oleh orang tuamu. Jika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Cobalah untuk berargumen dan jelaskan alasan mengapa kamu benar-benar menginginkan hal tersebut. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendengarkan dan menghormati pendapat anaknya, namun, perlu diingat bahwa dalam berpendapat, kamu harus melakukannya dengan baik dan sopan, ya! Dengarkan juga argumen yang disampaikan oleh orang tuamu. Jangan sampai keinginanmu untuk pergi bermain bersama teman mengaburkan nilai-nilai penting yang disampaikan oleh orang tuamu. Apabila kamu kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang tuamu, kamu bisa juga, lho, bercerita dengan guru di sekolah, saudara, ataupun teman sebayamu. Terkadang, meminta bantuan kepada orang lain dapat meringankan beban pikiran kita, membuat perasaan yang kalut menjadi lebih tenang. Jangan lupa juga untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendengarkan cerita dan argumenmu.

Apabila orang tuamu menyanggupi keinginanmu, jangan sia-siakan kepercayaan yang telah diberikan oleh mereka. Manfaatkan waktu yang kamu miliki untuk beristirahat dan bersenang-senang dengan baik. Jangan sampai kamu jadi merasa bersalah karena pergi bermain dan bukannya pergi ke tempat kursus. Meskipun kita berada di luar lingkungan sekolah atau tempat kursus, kamu juga bisa memanfaatkan waktu dengan belajar, lho! Belajar tidak harus selalu berkaitan dengan hal-hal eksakta, kamu bisa juga belajar dengan mengamati keadaan sekitarmu, misalnya mengamati cara memperlakukan orang lain dengan sopan atau membelanjakan uang dengan bijak dengan berbelanja sesuai kebutuhan dan bukan keinginan.

Bisa jadi permasalahan yang kamu hadapi lebih pelik dari sekadar ingin bermain versus harus pergi ke tempat kursus sehingga letupan emosi yang kalian hadapi pun juga lebih besar. Tidak apa-apa, untuk berkembang, kita memang harus melalui fase seperti ini. Kedepannya, kamu juga akan menghadapi fase-fase menarik lainnya. Tidak perlu takut dan khawatir, terima bahwa fase-fase tersebut merupakan bagian dari dirimu, tapi apa yang membentuk dirimu adalah sifat gigih yang kamu tunjukkan dalam menghadapi fase-fase tersebut. Apa pun yang kamu rasakan, semua itu dapat dipahami, namun perlu diingat pula bahwa dirimu lebih dari sekadar emosimu!

Referensi:

Arjanto, L.P. (n.d). Mengapa Remaja Suka Memberontak? The Asian Parent. Retrieved from https://id.theasianparent.com/mengapa-remaja-suka-memberontak

Shepherd’s Hill Academy. (n.d). Identifying Rebellion in Your Teenager. Shepherd’s Hill Academy. Retrieved from https://www.shepherdshillacademy.org/resources/identifying-rebellion-teenager/#:~:text=This%20is%20the%20point%20of,in%20direct%20opposition%20to%20them