Aturan dan Persepsi Masyarakat tentang Adopsi Anak

Written by Zahara Almira Ramadhan, Content Writer Intern at Project Child Indonesia

Mempunyai keturunan masih menjadi tekanan yang cukup besar di Indonesia. Memasuki umur 20-an tahun, kita mulai dibanjiri pertanyaan “kapan nikah?” dari keluarga sendiri. Tekanannya tidak berhenti di status pernikahan, tapi berlanjut ke tekanan untuk mempunyai anak setelah menikah. Padahal, tidak semua orang menikah untuk punya anak, kan? Gimana kabarnya mereka yang sudah lama memilih untuk tidak mempunyai anak? Atau mereka yang dari segi kesehatan tidak mampu mempunyai anak? Aku rasa tekanan sosialnya masih disamaratakan tanpa adanya pengecualian.

Mengingat kondisi dan pendirian orang yang berbeda-beda, banyak dari mereka berpikir untuk mengadopsi alih-alih memproduksi anak. Ada yang alasannya berakar dari ketidakmampuan reproduksi, ada juga yang secara personal ingin mengadopsi anak demi kesejahteraan anak-anak Indonesia. Menurut Kementerian Sosial, jumlah anak yatim-piatu di Indonesia mencapai sekitar empat juta anak. Di antaranya ada 20.000 anak yang ditinggal orang tua akibat Covid-19, 45.000 anak di bawah naungan panti asuhan, dan sekitar 3,9 juta anak berasal dari keluarga tidak mampu.

Banyaknya jumlah anak yatim-piatu ini tentu menggerakkan hati orang untuk mendukung kesejahteraan mereka. Bantuan yang paling umum kita temui adalah donasi, baik itu berupa uang maupun material lainnya seperti baju, buku, dan mainan. Hal lain yang tidak semua orang bisa lakukan adalah mengadopsi anak-anak tersebut karena Indonesia memiliki serangkaian peraturan yang harus dipenuhi untuk mengadopsi anak. 

Hukum Indonesia mempersulit adopsi anak?

Selama sekolah, kita diajari tentang terbentuknya anak dari proses reproduksi. Tapi kita tidak dikenali dengan konsep mengadopsi anak dan aturan-aturan dasarnya sebagai opsi untuk mempunyai anak. Makanya, tidak sedikit dari kita merasa kaget atas hukum Indonesia mengenai adopsi anak. Emangnya seriweuh itu, ya?

Dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, calon orang tua angkat harus berumur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun, berstatus menikah minimal selama lima tahun, mampu secara ekonomi dan sosial, beragama yang sama dengan calon anak angkat, dan lain-lain. Dari sini, media sosial sempat diramaikan dengan pertanyaan: berarti kalau statusnya tidak menikah, tidak bisa adopsi anak? Jangan siap sambat dulu ya, jawabannya boleh kok. Namun peraturannya jatuh ke tangan Kementerian Sosial. Orang yang berstatus tidak menikah, janda, dan duda bisa disebut sebagai orang tua tunggal atau single parent. Orang tua tunggal dibolehkan mengadopsi anak dengan izin dari Kementerian Sosial, yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No. 110/HUK/2009 (Permensos 110/2009). 

Berpasangan maupun tunggal, calon orang tua angkat harus menjadi orang tua asuh dulu sekurang-kurangnya selama enam bulan. Orang tua asuh adalah pasangan suami istri atau orang tua tunggal yang melakukan pengasuhan anak secara sementara. Setelah masa pengasuhan tersebut, calon orang tua angkat bisa mengajukan pengangkatan anak secara resmi ke pengadilan. Posisi mereka di mata pengadilan pun sudah lebih kuat karena bukti nyata masa pengasuhan sebelumnya. Setelah anak resmi diadopsi, orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak tiap tahunnya sampai anak berusia 18 tahun atau harus dimonitor dan dievaluasi oleh instansi sosial setempat.

Aturan mengadopsi anak memang banyak dan panjang prosesnya, tapi bukan berarti aturan itu dibuat untuk mempersulit para calon orang tua angkat. Aturan yang dibuat sedemikian rupa adalah upaya untuk menghindari tindakan yang membahayakan anak. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tindak pidana perdagangan dan eksploitasi terhadap anak mencapai 147 kasus selama tahun 2021. Kasus-kasus tersebut memposisikan anak sebagai korban eksploitasi ekonomi, pekerjaan, serta prostitusi. Maka dari itu, komisioner KPAI mengatakan, rangkaian proses adopsi anak bertujuan untuk memenuhi hak-hak dasar anak dan perlindungan anak. Hak-hak dasar anak termasuk hak untuk hidup dan mendapat kasih sayang, sedangkan perlindungan anak mengacu pada perlindungan dari tindakan menyimpang, seperti eksploitasi anak.

Apa kata orang kalau kita mengadopsi anak?
Persepsi sosial mengenai adopsi anak tentu berbeda-beda. “Kalau bisa bikin, kenapa adopsi?” hanyalah satu dari banyak pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut orang lain. Menjadi pejuang hak asasi manusia di Indonesia terkadang memang sulit; kamu pasti akan berhadapan dengan komentar orang-orang di sekitarmu, termasuk keluarga dan teman terdekat. Untuk menghadapi persepsi ini, kamu bisa jelaskan pelan-pelan tentang alasanmu mengadopsi anak. Tentu kamu tidak wajib menceritakan segalanya. Kamu bahkan tidak wajib merespons komentar orang lain. Tapi, ada baiknya untuk bertukar pandangan dengan mereka yang tidak memahamimu, supaya mereka lebih terbuka dengan wawasan baru dan lebih sadar akan mirisnya kesejahteraan anak di Indonesia.

Anak adopsi bukannya susah diatur ya? Emangnya bisa mencintai dia seperti anak kandung? Pandangan ini merupakan stigma yang sudah lama melekat di masyarakat umum. Stigma ini tentu saja tidak benar; yang namanya anak-anak pasti kebanyakan susah diatur. Rasa ingin tahu mereka sangat besar, dan masih banyak aktivitas yang belum mereka coba di umur tersebut. Selain itu, walaupun orang tua angkat tidak mengalami proses reproduksi anak, mereka akan tetap menjalani proses merawat dan membesarkan anak. Mulai dari memenuhi kebutuhan pendidikan, finansial, fisik, sampai emosional. 

Sama halnya dengan anak kandung, memenuhi kebutuhan emosional anak angkat tidaklah mudah. Kamu harus menghabiskan waktu dengannya untuk memastikan mereka mendapat perhatian dan kasih sayang. Pada akhirnya, kedekatan emosional pasti akan tumbuh di antara orang tua dan anak angkat layaknya orang tua dan anak kandung pada umumnya.

Mengadopsi anak bukanlah hal yang bisa diputuskan dalam semalam. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi, dan proses mengadopsinya pun tidaklah cepat. Alur mengadopsi ini harus dipatuhi oleh semua calon pengadopsi demi keamanan anak itu sendiri, mengingat banyaknya orang dewasa yang menyalahi fungsi anak sebagai sumber uang. Persepsi skeptis dan stigma buruk dari masyarakat juga merupakan tantangan lain yang harus dihadapi setelah mengadopsi anak. Mereka adalah bukti dari kurangnya wawasan masyarakat mengenai adopsi. Selama kamu membesarkan anak angkat dengan penuh perhatian, kalian akan tumbuh menjadi keluarga yang sebenarnya.

Referensi

Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. (n.d). ADOPSI ANAK. Retrieved from: http://dinsos.jogjaprov.go.id/pelayanan-masyarakat-2/ 

Pratomo, R. (2018, December 18). Bolehkah Single Parent Mengadopsi Anak?. Hukum Online. Retrieved from: https://www.hukumonline.com/klinik/a/bolehkah-isingle-parent-i-mengadopsi-anak-lt58536910d0461 

Rachman, A. (2022, January 18). KPAI Sebut Sebanyak 147 Anak Dieksploitasi dan Diperdagangkan Selama 2021. Tempo.co. Retrieved from: https://nasional.tempo.co/read/1551060/kpai-sebut-sebanyak-147-anak-dieksploitasi-dan-diperdagangkan-selama-2021 

Setiawan, K. (2021, August 24). Kemensos Berikan Perlindungan kepada 4 Jutaan Anak Yatim-Piatu. Kementerian Sosial Republik Indonesia. Retrieved from: https://kemensos.go.id/kemensos-berikan-perlindungan-kepada-4-jutaan-anak-yatim-piatu 

Warta Kota. (2020, February 5). Jalan Panjang Prosedur Adopsi Anak, Salah Satunya Tidak Memiliki Penyimpangan Seksual. Retrieved from: https://wartakota.tribunnews.com/2020/02/05/jalan-panjang-prosedur-adopsi-anak-salah-satunya-tidak-memiliki-penyimpangan-seksual