Written by Maria Olivia Laurent, Content Writer Intern at Project Child Indonesia
“Kok umur segini belum punya anak?”
“Semoga nanti habis nikah langsung dikasih momongan ya~”
“Makin banyak anak makin banyak rezeki, hihi.”
Kayaknya sudah biasa ya mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu dari keluarga dan teman-teman? Haduh, sudah beban menjadi wanita di era sekarang ini susah, ditambah lagi ekspektasi dan nyinyiran dari orang sekitar. Nyatanya, asumsi bahwa setiap wanita akan menjadi seorang ibu sudah mendarah daging di pikiran dan tradisi masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi hidup di tengah budaya patriarki yang membatasi peran wanita sedemikian rupa. Kasarnya, wanita itu cuma mesin ngelahirin dan ngebesarin anak doang.
Tidak ada salahnya jika wanita ingin menjadi seorang ibu. Menjadi ibu adalah sebuah kehormatan dan pengorbanan besar demi membesarkan buah hati. Namun, tidak ada salahnya pula jika wanita tidak ingin menjadi seorang ibu. Semua ini tergantung pilihan. Konsep ‘my body my choice’ inilah yang melahirkan fenomena childfree yang sedang marak dibahas di masyarakat dan media sosial. Childfree adalah sebuah istilah yang merujuk pada orang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Childfree tidak sama dengan childless, ya. Childless merujuk kepada kondisi dimana seseorang tidak memiliki anak karena sebuah keadaan walaupun mereka menginginkan anak tersebut. Gampangnya, childfree itu terjadi karena faktor internal yakni pilihan. Sedangkan childless terjadi karena faktor eksternal seperti keguguran, penyakit, maupun kondisi fisik lainnya.
Fenomena childfree ini terbilang kontroversial karena banyak yang beranggapan bahwa wanita harus memberikan keturunan untuk suaminya. Sebuah hakikat seorang wanita yang tertulis di ajaran-ajaran agama dan norma sosial. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman dan isu-isu yang berdampak besar di kehidupan manusia, asumsi ini mulai diperdebatkan. Melihat dari data sensus penduduk, angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan. Di tahun 2019 sendiri angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia hanya berada di angka 17.75. Laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010-2020 menunjukan angka 1.25%, sebuah penurunan dari periode sebelumnya tahun 2000-2010 pada angka 1.49% (Badan Pusat Statistik, 2020). Laju ini juga diprediksi akan terus menurun di periode berikutnya.
Lantas, apa sih yang membuat semakin banyak orang memilih untuk childfree? Ada banyak faktor yang mendukung hal tersebut, terkait masalah fisik, psikologis, ekonomi, juga faktor lingkungan. Yuk kenali alasan-alasannya terlebih dahulu sebelum kita berpikir yang enggak-enggak dan main hakim sendiri. Siapa tahu salah satu alasan di bawah ini kalian setujui juga.
Pertama adalah kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak. Entah itu karena penyakit bawaan, tubuh yang lemah, atau risiko kehamilan dan melahirkan yang besar. Jadi daripada membahayakan ibu dan janin, lebih baik tidak memiliki anak saja. Biasanya, wanita yang memutuskan untuk tidak memiliki anak karena memprioritaskan kesehatannya akan dicap egois. Mereka yang bilang seperti itu mungkin tidak paham tentang kondisi medis dan seberapa bahayanya kehamilan bagi beberapa wanita. Kalau kata dokter sudah mustahil, jangan dipaksakan karena dorongan orang sekitar, sebab ibu bisa kehilangan nyawa dan sang bayi bisa lahir cacat atau malah meninggal.
Kedua, kondisi psikologis. Seseorang harus memiliki mental dan kesiapan batin yang matang untuk dapat membesarkan anak. Mereka mungkin sadar bahwa mental mereka masih rapuh atau ada trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Oleh sebab itu, mereka memutuskan untuk childfree agar anak mereka tidak terbebani masalah orang tuanya dan tidak tumbuh di lingkungan yang toxic. Lagi-lagi, memiliki anak adalah sebuah tanggung jawab yang besar dalam berjangka panjang. Jika seseorang merasa masih belum siap menanggung itu, mungkin menjadi childfree adalah jalan yang tepat untuk saat ini.
Alasan ketiga ini bisa dibilang adalah alasan terkuat. Faktor keuangan yang belum stabil. Aku rasa ungkapan “banyak anak banyak rezeki” ini hanya berlaku untuk keluarga yang sudah berkecukupan. Jika kebutuhan sehari-hari saja masih susah tercukupi, bagaimana dengan kebutuhan anak nantinya? Kaum milenial lebih memilih untuk menabung daripada memiliki anak. Bukan karena pelit, tapi karena mereka tidak ingin anak mereka tumbuh serba kekurangan. Nanti saat ekonomi sudah jaya, baru mereka akan memiliki anak di rumah yang sudah sejahtera. Atau jika nanti tetap memilih untuk childfree, hal ini juga wajar, kok. Toh, kalian bebas untuk menggunakan uang hasil kerja kalian sendiri. Banyak juga orang kaya childfree yang memutuskan untuk menjadi orang tua asuh atau donor anak-anak panti asuhan.
Faktor selanjutnya adalah lingkungan. Anak muda lebih mempunyai environmental awareness dibanding generasi sebelumnya. Memiliki anak akan menambah overpopulasi dunia dan memperparah kerusakan lingkungan. Emisi karbon dikhawatirkan akan semakin memburuk dan membuat keberlangsungan makhluk hidup terancam. Anak-anak kita pun akan terancam. Mereka akan hidup di dunia dengan keterbatasan air bersih, tumpukan sampah, jalanan macet, dan sebagainya. Memang, kita tidak bisa memprediksi apa yang akan sesungguhnya terjadi di masa depan, namun melihat dari kondisi memprihatinkan Bumi kita saat ini, tidak herab bahwa argummen lingkungan ini menjadi semakin populer di kalangan childfree.
Terakhir adalah alasan personal. Mereka memang tidak mau punya anak, sesederhana itu. Mungkin mereka tidak suka anak kecil, ingin kebebasan total, tidak mau terikat, dan lain sebagainya. Namun, hal yang perlu diingat adalah keputusan childfree ini harus merupakan keputusan bersama jika terjadi di sebuah pasangan agar tidak menimbulkan konflik. Jangan lupa untuk diskusi tentang anak waktu mempersiapkan pernikahan ya!
Ketika kita sudah memutuskan untuk childfree, kerap muncul pertanyaan ini: Nanti siapa yang akan merawatmu waktu tua?
Wah, berarti sama saja mereka menginginkan balas budi dari anak mereka saat tua nanti. Anak bukanlah pembantu atau sumber uang kita. Kita melahirkan dan membesarkan mereka dengan ikhlas. Belum tentu juga anak akan mau merawat orang tuanya saat tua nanti, jadi pernyataan itu sejatinya tidak berlaku untuk orang childfree.
Pada akhirnya, beberapa orang masih akan mengatakan keputusan childfree ini egois. Tetapi, akan jauh lebih egois untuk memiliki anak karena tekanan sosial dan menyesalinya nanti. Orang tua tidak akan bahagia. Anak-anak pun juga tidak akan bahagia. Mereka juga mungkin akan mengatakan bahwa memiliki anak akan membuat hidup seseorang bermakna, tapi sekali lagi, makna hidup setiap orang berbeda-beda. Setiap orang berhak mengambil keputusan akan hidup mereka sendiri, entah itu memiliki anak atau tidak, dan hanya mereka yang dapat menilai apakah keputusan itu tepat atau tidak.
Referensi
Cain, S. (2020, July 25). Why a generation is choosing to be child-free. The Guardian. https://www.theguardian.com/books/2020/jul/25/why-a-generation-is-choosing-to-be-child-free
Clason, M. (2020, October 12). Why Do People Choose to Be Childfree?. Soapboxie. https://soapboxie.com/social-issues/Why-Do-People-Choose-To-Not-Have-Kids
Fenomena Childfree di Indonesia. (2021, September 2). Media Indonesia. https://epaper.mediaindonesia.com/detail/fenomena-childfree-di-indonesia
Saroh, N. I. (2021, September 5). Tren Childfree Pasangan Muda, Bisakah Diterapkan di Indonesia? Voi.Id. https://voi.id/berita/82230/tren-childfree-pasangan-muda-bisakah-diterapkan-di-indonesia