#CeritaVolunteer : Nadhia, Volunteer Sekolah Sungai Batch #29

Oleh : Nadhia Dheany, Volunteer Sekolah Sungai Batch #29

Halo! Aku Nadhia Dheany, aku merupakan salah volunteer #Batch29 di Project Child Indonesia. Aku mengambil Program Sekolah Sungai yang bertepatan di Sungai Gajahwong Yogyakarta. Yang membuat aku tertarik untuk mengikuti kegiatan volunteer di Sekolah Sungai karena selain untuk mengisi waktu aku juga ingin mencari kegiatan baru dan mendapatkan pengalaman baru.

Program volunteer #Batch29 ini dimulai dari sekitaran bulan Juli 2019 dimana waktu itu aku dan teman teman lain yang akan menjadi volunteer diberikan training terlebih dahulu. Dan pada training ini aku mendapatkan pelajaran baru, yaitu tentang pedagogi untuk pertama kalinya. Dari training ini pula aku tau kalau kedepannya aku akan dihadapkan dengan hal – hal yang baru yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Dan pada hari itu juga itu adalah kali pertama aku bertemu teman – teman yang sangat ramah, baik dan juga aktif sehingga dari sinilah terlihat juga kalau orang-orangnya bisa diajak untuk bekerjasama dengan baik. 

Untuk kegiatan dari sekolah sungai pun juga tidak terlalu menyita waktu, untuk sekolah sungai di Gajahwong diadakan setiap hari selasa dari jam 15.00 – 17.00 WIB . Hal yang paling seru itu ketika jemput adik – adik kerumah mereka dan melihat adik adik yang semangat untuk bermain dan juga belajar bersama dengan para kaka – kaka volunteer

Dan untuk kegiatan setiap minggunya sebagai volunteer juga tidak hanya pergi ke sekolah sungai setiap hari selasa aja tapi juga di Project Child Indonesia juga ada kegiatan study club di setiap minggunya dimana setiap minggunya topiknya juga berbeda – beda dan itu yang bikin aku tambah senang menjadi volunteer di Project Child, karna dari study club ini aku juga mendapatkan ilmu – ilmu baru setiap minggu nya. Dan disini aku juga merasa menjadi volunteer itu tidak hanya membagi kebaikan dengan orang lain saja tetapi juga memberi kebaikan bagi diri kita sendiri dan membuat aku menjadi manusia yang lebih berkembang dari sebelumnya.

Terorisme dan Anak-anak

Oleh : Akbar Mohammad Arief, S.I.P., M.Si.
Alumni Program studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia


Generasi muda khususnya anak-anak merupakan generasi penerus masa depan dunia ini, maka dari itu kita semua sebagai warga dunia memiliki peranan penting untuk melindungi masa depan dari anak-anak ini. Pada Konvensi Hak Hak Anak tahun 1989 yang diberlakukan oleh PBB dan diratifikasi oleh seluruh negara anggota PBB, konvensi ini mendefinisikan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan, makanan, perlindungan dari bahaya dan jaminan kesehatan. Selain itu, konvensi ini juga mengatur kewajiban negara negara untuk melindungi anak- anak yang menjadi warga negara mereka dari perekrutan menjadi tentara anak-anak dan buruh dibawah umur (United Nations, 2020).

Dunia pada masa sekarang ini menghadapi ancaman dari aksi terorisme yang dilakukan oleh berbagai kelompok- kelompok teror di dunia. Tercatat bahwa rata rata 21,000 orang di dunia kehilangan nyawanya sebagai akibat dari serangan teror, dan terdapat peningkatan jumlah kematian akibat serangan teror yang signifikan pada rentang waktu 2010-2014, dimana 7,827 jiwa meregang nyawa akibat serangan teror pada tahun 2010 dan 44,490 orang kehilangan nyawanya akibat serangan teror di tahun 2014 (Ritchie, Hasell, Appel, & Roser, 2019). Aksi terorisme ini juga mengancam keamanan hidup anak-anak serta juga mengancam proses pemikiran anak-anak, anak-anak dapat menjadi korban serangan teror yang terjadi di berbagai belahan dunia, selain itu anak-anak juga berpotensi terpapar narasi-narasi kebencian dan ideologi ekstremis.

Aksi terorisme merupakan sikap ekstremisme dengan kekerasan yang dibentuk dan tumbuh dari suatu proses yang disebut dengan radikalisme.

Definisi radikalisme pada studi mengenai terorisme adalah sebuah proses mengubah pemikiran atau pemahaman seorang individu dalam tahap tahap menuju ekstremisme yang biasanya berujung pada aksi teror, radikalisme dapat tumbuh dan berkembang dari pemahaman yang salah dan cenderung fanatik akan sebuah ideologi Radikalisme dan ekstremisme yang menggunakan kekerasan mengancam kelangsungan hidup anak-anak di seluruh dunia, sejak usia dini anak-anak di berbagai belahan dunia memiliki potensi untuk terpapar radikalisme dan melakukan aksi teror. Salah satu faktor yang membuat proses radikalisme dan ekstremisme berkembang pesat adalah narasi-narasi kebencian, anak-anak di seluruh penjuru dunia saat ini terancam paparan segala bentuk narasi kebencian yang mereka dapatkan dari berbagai sumber seperti internet, lingkaran pergaulan hingga keluarga mereka sendiri (Chamidi, 2019).

Meskipun keterlibatan anak-anak pada aksi teror kerap menjadi perdebatan antara pendefinisian anak-anak tersebut sebagai korban maupun pelaku, namun tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak juga merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengatasi ekstremisme dengan kekerasan dan melawan aksi terorisme secara umum. Sebagai contoh, seorang warga Inggris yang bernama Shamima Begum meninggalkan rumahnya pada umur 15 tahun untuk berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS (Jorgensen, 2019). Shamima kemungkinan besar nekat untuk meninggalkan rumahnya dan berangkat ke Suriah setelah terpapar propaganda-propaganda ISIS yang berisi narasi kebencian terhadap musuh-musuh mereka dan janji-janji ISIS akan kehidupan yang lebih baik dan surga bagi para pengikut ISIS di akhirat kelak.

Selain Shamima, masih banyak anak-anak di dunia ini yang menjadi teroris atas dasar motivasi apapun, baik melalui keinginan sendiri maupun paksaan. Dalam skema perekrutan teroris, anak-anak sampai usia 18 tahun memiliki berbagai motivasi seperti: Pencarian jatidiri melalui identitas kelompok, faktor ideologi yang ditawarkan oleh kelompok teror, narasi mengenai ancaman dan kebencian terhadap golongan lain di luar golongan dari anak tersebut, kemungkinan untuk mendapatkan ketenaran dan rasa hormat dari lingkungannya, perekrutan melalui koneksi pribadi seperti keluarga maupun teman sebaya (Darden, 2019).

Perekrutan kelompok teror terhadap anak-anak juga dapat terjadi melalui paksaan. Pada tahun 1987 sebuah organisasi teror bernama Lord Resistance’s Army (LRA) di Uganda kerap menculik, mengintimidasi dan mempersenjatai anak-anak, tercatat sebanyak 20,000 anak di Uganda menjadi tentara/teroris anak dengan paksaan pada saat itu. Pada saat ini, ISIS tercatat telah menculik ribuan anak-anak dari berbagai daerah kekuasaannya pada masa pendudukan ISIS untuk dijadikan teroris anak (Darden, 2019). Selain karena penculikan, terdapat pula anak-anak yang dengan sukarela bergabung dengan ISIS karena pengaruh dan dukungan dari kedua orang tuanya untuk menjadi seorang kombatan.

Penculikan dan perekrutan anak secara paksa untuk menjadi tentara/teroris anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok teror, bentuk eksploitasi lainnya terhadap anak, terutama anak perempuan adalah pelacuran anak, perbudakan seks anak dan pernikahan paksa antara anak-anak dan anggota kelompok teror. Seperti pada kasus Shamima, meskipun ia berangkat ke Suriah atas keinginannya, namun ia juga dapat disebut telah mengalami eksploitasi karena tidak ada bukti konkrit apakah Shamima menjadi seorang pengantin di bawah umur bagi seorang anggota ISIS berdasarkan kemauannya atau atas dasar paksaan (Jorgensen, 2019).

Dalam upaya melindungi anak-anak dari pengaruh narasi kebencian dan pemaksaan anak-anak untuk menjadi anggota kelompok teror merupakan tugas semua kalangan yang bertanggung jawab pada kehidupan anak, mulai dari lingkungan keluarga hingga negara tempat kewarganegaraan anak tersebut. Narasi kebencian dapat dilawan dengan upaya-upaya kontra narasi, yang dilakukan dengan mendidik orang tua anak untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan anti ekstremisme pada anak-anak sedari usia dini, terutama dari segi pengamalan ilmu ilmu agama dan juga nilai nilai mengenai keberagaman di dunia ini.

Perlindungan bagi pemaksaan anak-anak untuk menjadi kelompok teror juga dapat dilakukan oleh negara atau aktor terkait lainnya yang memiliki kapasitas untuk melindungi anak-anak di medan perang dari kelompok-kelompok teror. Dalam kasus Indonesia institusi pendidikan dan organisasi keagamaan seperti MUI, NU dan Muhammadiyah dapat berperan untuk melakukan pencegahan awal terhadap eksploitasi anak yang dilakukan oleh kelompok teror, dengan melakukan pemantauan pada anak-anak yang tergabung dalam institusi-institusi pendidikan mereka, dan apabila diperlukan sebuah tindak lanjut, dapat diteruskan kepada instansi terkait untuk penanganan lebih lanjut.

Meskipun banyak cara untuk melindungi anak-anak dari bahaya radikalisme/ekstremisme dan terorisme, persebaran informasi yang begitu bebas di internet dan interaksi tanpa batas yang diberikan oleh media sosial tetap menjadi ancaman terbesar dalam menyeret anak-anak pada spektrum radikalisme dan ekstremisme. Maka dari itu dalam penanganannya pemerintah selaku aktor yang paling berkuasa dalam persebaran informasi di sebuah negara harus dengan sigap menjaga persebaran informasi yang terdapat di internet, dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah segala jenis narasi kebencian dan sosialisasi yang dapat berujung pada radikalisasi dan eksploitasi kelompok teror terhadap anak.

Mengingat anak-anak adalah masa depan bagi dunia ini, maka diperlukan kesadaran dan tindakan nyata untuk dapat melindungi anak-anak dari bahaya-bahaya yang diakibatkan oleh narasi kebencian yang dapat berujung pada radikalisme dan ekstremisme. Tugas ini tidak hanya merupakan tugas suatu instansi tertentu, namun sudah menjadi tanggung jawab seluruh warga dunia untuk ikut berkontribusi melindungi anak-anak dari pengaruh-pengaruh berbahaya yang disebarkan oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab.


Referensi :

  • Chamidi. (2019, 12 22). Kunjungan rumah program deradikalisasi LSM ACCEPT International. (A. Arief, Interviewer)
  • Darden, J. T. (2019). Tackling Terrorists’ Exploitation of Youth. United States of America: American Enterprise Institute.
  • Jorgensen, N. (2019, June 30). Children associated with terrorist groups in the context of the legal framework for child soldiers. Retrieved from Questions of International Law: http://www.qil-qdi.org/children-associated-with-terrorist-groups-in-the-context-of-the-legal-framework-for-child-soldiers/#_ftn1
  • Ritchie, H., Hasell, J., Appel, C., & Roser, M. (2019, July). Terrorism. Retrieved from Our World in Data: https://ourworldindata.org/terrorism#how-many-people-are-killed-by-terrorists-worldwide
  • United Nations. (2020, January 4). Global Issues, Children. Retrieved from United Nations: https://www.un.org/en/sections/issues-depth/children/index.html

Warum ein Bewusstsein für Mundhygiene besonders für Kinder wichtig ist

Der Gesundheitszustand der Zähne und des Mundes ist ein wichtiger Indikator für die Gesundheit des menschlichen Körpers. Unsere Zähne sind von essentieller Bedeutung für eine unbeschwerte Nahrungsaufnahme. Obwohl sich viele Menschen in Indonesien der wichtigen Rolle der Zähne bewusst sind, ist das Bewusstsein für die Notwendigkeit einer gewissenhaften Mund- und Zahnpflege gering. Zahnerkrankungen wie zum Beispiel Karies oder Abszesse (geschwollenes Zahnfleisch) sind die Folge. Aktuellen Studien zufolge können Zahnfleischinfektionen im schlimmsten Fall zu Herzerkrankungen führen.

Nach den Ergebnissen der Gesundheitsforschung 2018 ist Indonesien mit 57,6% der Gesamtbevölkerung eines der Länder mit der höchsten Häufigkeit von Zahn- und Mundgesundheitsproblemen. Besonders schlimm ist dabei, dass 93% der an Karies erkrankten Menschen in Indonesien Kinder sind. Für die Kinder kann dies unter Umständen auch Folgen in der Zukunft haben, sofern beispielsweise ihr Selbstbewusstsein durch Zahnerkrankungen beeinträchtigt wird. Aus diesem Grund wurde die Initiative „Frei von Karies 2030“ durch den indonesischen Gesundheitsminister, mit Unterstützung der Vereinigung der indonesischen Zahnärzte (PDGI), gegründet. Im Zuge der Initiative werden die Kinder in den Schulen für die Bedeutung der Mundgesundheit sensibilisiert. Eine Versiegelung der Zähne mit Fluorid soll darüber hinaus das Kariesrisiko verringern.

„Der Prozentsatz der Kinder in Indonesien, die im Jahr 2018 unter Zahnerkrankungen litten betrug 64%. Davon hatten 41% mit erheblichen bis starken Schmerzen zu kämpfen. Dieses Problem kann dabei einen großen Einfluss auf die schulischen Aktivitäten der Kinder nehmen.“

Dr. Ratu Mirah, Abteilungsleiter für Gesundheit und Wohlbefinden in der Unilever Indonesia Foundation

Im Vergleich zu Kindern, die gesunde Zähne besitzen, leiden Kinder mit Mundgesundheitsproblemen tendenziell unter mangelndem Selbstbewusstsein, haben Schwierigkeiten Kontakte zu knüpfen und vermeiden es, im schlimmsten Fall, zu lächeln oder gar zu lachen.

Zahn- und Munderkrankungen von Kindern sind zu einer ernsthaften Herausforderung geworden, die es nicht zu unterschätzen gilt. Ist die Erkrankung mit Schmerzen verbunden, so verringert dies oftmals nicht nur die schulische Produktivität der Kinder, sondern führt auch zu Appetitlosigkeit, die sich negativ auf das Wachstum der Kinder auswirken kann. Vorbeugende Maßnahmen der Eltern, z.B. der regelmäßige Kontrollbesuch bei einem Zahnarzt sind eher die Ausnahme. Daher ist es besonders wichtig, den Kindern die Bedeutung von Mundhygiene zu erklären. Um das Bewusstsein der Menschen in Indonesien in Bezug auf die Zahngesundheit zu verbessern ist neben den Initiativen der kommunalen Gesundheitszentren und UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) auch ein Engagement lokaler Regierungen und die Einbeziehung von NGOs, die auch in abgelegenen Orten aktiv sind, notwendig.

Dies hat Project Child dazu veranlasst, Maßnahmen zu ergreifen um die „Frei von Karies 2030“ Initiative des indonesischen Gesundheitsministeriums zu unterstützen. Im August 2019 wurden daher im Rahmen der Flussschule des Sungai Gajah Wong kostenlose zahnärztliche Untersuchungen durchgeführt. Darüber hinaus hatten die am Fluss wohnenden Eltern und ihre Kinder die Möglichkeit, sich von den Zahnärzten der Opal Zahnklinik beraten zu lassen. Während der zahnärztlichen Untersuchungen wurden bei ca. 20 Eltern und Kindern Zahnerkrankungen wie beispielsweise Karies festgestellt. Somit konnte Project Child einen wichtigen Beitrag zu einem erhöhten Bewusstsein für die Notwendigkeit der Mundhygiene leisten. In Zukunft werden die Eltern darauf achten, dass ihre Kinder nicht nur regelmäßig Zähne putzen, sondern darüber hinaus auch den Konsum von zuckerhaltigen Getränken und Süßigkeiten reduzieren. Mögliche Zahnerkrankungen der Kinder und damit verbundene Nachteile in ihrer Entwicklung können somit bereits im Vorfeld verhindert werden.

Quellen:

Die Sicherstellung einheitlicher Wasserqualität gemäß dem Umwelt- und Gesundheitswesen

Die komplexen Wasserprobleme in Yogyakarta erfordert weiterhin Maßnahmen, welche die Lokalregierung, Gemeinden, sowie in Regierungsprojekte involvierte Gruppen miteinbeziehen. So identifizierte einer der führenden Forscher der Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) den ungebremsten Bau von Hotels und Wohnungen, den mangelhaften Bodenschutz, sowie die veränderte Landnutzung als Hauptgründe für die Wasserkrise in Yogyakarta. Zusätzlich tragen Haushaltsmüll und Großunternehmen mit hohem Wasserverbrauch zu einer zunehmenden Verschmutzung von sauberem Trinkwasser bei.

Die Schaffung eines Bewusstseins für Wasser als ein für den Menschen lebensnotwendiges Element wurde zu einem der Hauptgründe für den Aufbau des Trinkwasserprogramms. Seit 2016 hat Project Child dieses Programm an mehreren Schulen erfolgreich durchgeführt und damit zur Erreichung des sechsten Sustainable Development Goal (SDG), dem Ziel der Sicherstellung der universellen Verfügbarkeit von sauberem Wasser und sanitären Einrichtungen, beigetragen. Darüber hinaus konnte Project Child im Juli 2019 das Trinkwasserprogramm an fünf neuen Partnerschulen (Cokrokusuman Grundschule, Sayidan Grundschule, Karangmulyo Grundschule, Ngupasan Grundschule, Wirosaban Grundschule) mit weiteren 22 Vertretern von Partnerschulen, sowie 3 Vertretern des Bildungs- und Kulturwesens durchführen.

Mit dem Trinkwasserprogramm wird der Zugang der Kinder zu angemessenem Trinkwasser verbessert. Außerdem liefert das Programm Informationen zur Sicherstellung der einheitlichen Wasserqualität gemäß den im Folgenden aufgeführten Anforderungen des Gesundheits- und Umweltwesens:

Physische Anforderungen:

  • Wasser muss sauber sein – die Trübung im Wasser entsteht durch die Verteilung feinster Sandgranulate
  • Wasser ist farblos und frei von gesundheitsschädlichen Stoffen
  • Wasser ist geschmacksneutral – salziges, süßes oder bitteres Wasser, ist ein Anzeichen dafür, dass dieses nicht zum Trinken geeignet ist
  • Wasser ist geruchslos – Gerüche deuten auf die Zersetzung organischer Substanzen durch Mikroorganismen im Wasser hin
  • Wasser hat normale Temperaturen – sich auflösende Chemikalien können das Wasser erhitzen und zu Gesundheitsproblemen führen.
  • Gelöste Feststoffe (TDS) übersteigen für sauberes Wasser nicht den Wert von 1000, bzw. 100 für Trinkwasser

Chemische Anforderungen:

  • Um Wasser bedenkenlos trinken zu können, muss der pH-Wert auf einer Skala von 6 bis 8 liegen. Der Säuregehalt im Wasser wird im Allgemeinen durch die Aufnahme von CO2 gebildet.
  • Wasser mit einem Eisengehalt von mehr als 0,1 mg, erkennbar durch gelb gefärbtes, nach Metall schmeckendem Wasser, stellt ein Gesundheitsrisiko für den menschlichen Körper dar.
  • Die Wasserhärte wird durch den Gehalt von Sulfat, Carbonat, Chlorid, Nitrat, Magnesium, Calcium, Eisen oder Aluminium im Wasser bestimmt. Eine Wasserhärte von 500 mg / l sollte nicht überschritten werden, um die Bildung von weißen Krusten auf Küchengeräten, Korrosion in den Wasserleitungen und Magenprobleme zu vermeiden.
  • Für die Wasserverschmutzung mit Nitrat und Nitrit ist hauptsächlich die Boden- und Pflanzendüngung verantwortlich. Übermäßige Mengen von Nitrat und Nitrit im Wasser können den Sauerstofffluss im Körper blockieren.
  • Wasserverschmutzung, die üblicherweise durch Blei verursacht wird, birgt große Gefahren für Nieren, Leber, Gehirn und kann im schlimmsten Fall zum Tod führen.

Biologische Anforderungen:

  • Das Trinkwasser darf nicht mit Kolibakterien kontaminiert sein. Diese Bakterien verursachen Verdauungsstörungen, zum Beispiel durch Durchfall und Erbrechen.
  • Es gibt aber auch andere Coliforme, die vermieden werden müssen. So können Salmonellen, die gefährliche Infektionskrankheit Typhus auslösen. Durch bestimmte Symptome gekennzeichnet wie Fieber, Kopfschmerzen, Bauchschmerzen und vermindertem Appetit, sowie verschiedene Verdauungsstörungen, kann diese Krankheit unbehandelt zum Tod führen.

Durchführbarkeitstests für sauberes Wasser gemäß der Norm der Gesundheits- und Umweltwesen sind erforderlich, da jedes Individuum das Recht auf Zugang zu sauberem Trinkwasser hat, welches gesundheitlich unbedenklich ist. Die Etablierung des Trinkwasserprogramms ist ein Engagement, mit dem Project Child zur Erreichung der Sustainable Development Goals beitragen möchte. Gleichzeitig wird das Bewusstsein der Menschen dafür geschärft, täglich vorbeugende Maßnahmen gegen die Wasserverschmutzung zu ergreifen, indem sie zum Beispiel ihre Abfälle nicht im Fluss entsorgen oder Wasser effizienter nutzen.  

Quellen: