Bahasa Daerah, Tugas Siapa untuk Melestarikannya?

Written by Zahara Almira Ramadhan, Content Writer Intern at Project Child Indonesia

Anak jaman sekarang nggak bisa bahasa daerah!” Pernahkah kamu mendengar perkataan itu dari keluarga maupun orang sekitar? Aku pernah mendengarnya dari keluarga sendiri, seolah-olah aku disalahkan karena tidak bisa bicara dengan bahasa daerahku. Apa iya itu salahku, mengingat aku tinggal di Ibu Kota sedari bayi, di mana bahasa daerahku tidak digunakan di sini?

Tidak hanya di Indonesia, tapi aku juga pernah melihat tweet seseorang asal Jamaika yang diolok-olok oleh keluarganya sendiri karena salah kata saat berbicara dengan bahasa daerahnya. Padahal, usahanya untuk memahami dan berbicara bahasa daerahnya berasal dari diri sendiri, tanpa ada keluarga yang mengajarkannya. Ia sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi respons yang didapatkan malah menyakiti hatinya. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi mencoba berbicara pakai bahasa daerahnya. 

Mungkin ini saatnya para “anak jaman sekarang” untuk balik bertanya: adakah yang mengajarkan ilmu bahasa daerah ke kita? Kalaupun kita punya inisiatif untuk berbahasa daerah, apakah kita dihargai atau malah direndahkan atas ke-awam-an kita? Jadi, salah siapa kalau anak muda tidak bisa berbahasa daerah? Pertanyaan-pertanyaan ini terasa seperti lingkaran setan: berputar-putar mencari siapa yang harus disalahkan. Ini saatnya kita meluruskan pentingnya melestarikan bahasa daerah dan siapa saja yang harus ikut andil.

Pentingnya bahasa daerah

Kita selalu membanggakan keanekaragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi, aspek apa yang kita banggakan? Makanan, pakaian, dan adat pernikahan sajakah? Bagaimana dengan bahasa? 

Peran bahasa tidak kalah penting dari aspek lainnya dalam suatu budaya. Dalam suatu budaya tertentu, bahasa daerah bisa mempererat hubungan orang-orang di dalamnya. Sebagai orang yang tidak bisa berbahasa daerah, terkadang aku merasa sebagai orang asing di kampung halaman sendiri. Keluarga besar yang mengumpul sering mengobrol dan bercanda tawa pakai bahasa daerah, dan aku cuma bisa ikut senyum (padahal nggak paham obrolannya). Aku jadi membayangkan, kalau saja aku bisa berbahasa daerah, pasti aku bisa lebih akrab dengan keluargaku saat kumpul-kumpul seperti ini.

Selain itu, bahasa daerah bisa menjadi media pembelajaran sejarah. Tiap budaya pasti memiliki peninggalannya masing-masing, bisa berupa sastra, lagu, atau benda-benda yang ditulis dan dideskripsikan menggunakan bahasa daerah. Keaslian dan kelekatan yang didapat saat kita memahami peninggalan tersebut pasti akan lebih kuat dibandingkan harus memahaminya menggunakan terjemahan bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa daerah merupakan bentuk identitas budaya yang bisa dikenali oleh daerah lain. Contohnya, saat orang Jakarta berkumpul dengan teman-teman, mungkin pernah ada seseorang yang keceplosan menggunakan suatu istilah dari daerahnya, misal Bandung. Otomatis, kita akan langsung mengenali, “Oh, dia orang Sunda.” Dengan berbahasa daerah itu, budaya Sunda dikenali oleh daerah lain.

Makanya, sangat disayangkan kalau mendengar bahwa banyak bahasa daerah Indonesia yang terancam punah. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ada sekitar 700 bahasa daerah di Indonesia, yang sebagian besar kondisinya kritis dan terancam punah (Direktorat Sekolah Dasar, 2022). Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekitar 160 bahasa daerah terancam punah karena jumlah penutur yang sangat sedikit, sudah berusia lanjut, berada di lokasi terpencil, dan tidak memiliki generasi muda untuk melestarikannya (Suadi, 2015). Kalau sampai punah, akan ada 160 budaya yang tidak lagi dikenali oleh generasi mendatang. 

Lalu, tugas siapa untuk melestarikan bahasa daerah?

Tentu dibutuhkan kerja sama dari seluruh generasi dan seluruh aparat masyarakat. Untuk itu, Kemendikbud merencanakan program Revitalisasi Bahasa Daerah di tahun 2022 ini melalui tiga cara yang disesuaikan dengan kondisi daya hidup bahasa. Untuk bahasa yang daya hidupnya masih aman, dengan jumlah penutur yang banyak, dan masih digunakan sebagai bahasa utama dalam kehidupan masyarakatnya, akan dilakukan pelestarian secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah. Beberapa bahasa yang masuk kategori ini adalah bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.

Selanjutnya, bahasa yang daya hidupnya cenderung rentan, jumlah penutur relatif banyak, namun bahasanya dipakai secara bersaing dengan bahasa daerah lain akan diwariskan melalui pembelajaran di sekolah serta pembelajaran berbasis komunitas. Contoh bahasa dalam kategori ini adalah bahasa Minahasa (Sulawesi Utara), bahasa Kerinci (Jambi), bahasa Kaleyi (Maluku), bahasa Tobati (Papua), dan masih banyak lagi. Pembelajaran berbasis komunitas yang mungkin bisa lakukan adalah penyelenggaraan kegiatan dari komunitas-komunitas berbasis daerah, seperti pentas teater atau pameran sastra, yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan bahasa daerah setempat. 

Sementara itu, bahasa yang daya hidupnya bersifat kritis dan terancam punah dengan jumlah penutur yang sedikit akan dilakukan pembelajaran berbasis komunitas dan keluarga. Akan ada dua atau lebih keluarga yang ditunjuk untuk menjadi tempat belajar, atau bisa juga dilakukan di pusat kegiatan masyarakat seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman baca. Bahasa berstatus kritis yang menjadi target pembelajaran ini adalah bahasa Ibo, Letti, dan Meher (Maluku), bahasa Reta (NTT), dan bahasa Saponi (Papua). Sedangkan beberapa yang terancam punah adalah bahasa Suwawa (Gorontalo), bahasa Benggaulun (Sulawesi Barat), dan bahasa Kalabra (Papua Barat).

Program dari Kemendikbud ini memerlukan dukungan Pemerintah Daerah setempat karena pembelajaran akan dilaksanakan oleh daerah masing-masing dengan materi yang berbeda-beda, tergantung bahasa daerahnya. Dengan adanya program ini, kita bisa melihat bahwa pelestarian bahasa daerah memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, guru sekolah, komunitas dan penutur asli daerah, sampai generasi muda sebagai pelajar. Harapannya, program ini akan melahirkan generasi penutur aktif yang baru, mempertahankan bahasa daerah, dan memberikan makna dan rumah baru bagi bahasa dan sastra daerah.

Selain melalui program ini, pelestarian bahasa daerah bisa dilakukan dalam rumah tangga sendiri. Para orang tua bisa mengajarkan bahasa daerah ke anak sedari mereka kecil. Dilansir dari The Asian Parent, anak-anak bisa mempelajari bahasa melalui tiga tahap: mempelajari suara, kata, dan kalimat. Mempelajari suara berarti orang tua bisa berbicara menggunakan bahasa daerah dan membiarkan anak terbiasa mendengarnya. Setelah mulai terbiasa, bisa mulai diajarkan kata-kata dalam bahasa daerah. Misal, kata “haus” atau “minum” dalam bahasa daerah. Terakhir adalah mengajarkan cara menggunakan kata-kata itu dalam satu kalimat, misalnya cara mengatakan “aku mau minum karena haus” dalam bahasa daerah.

Melestarikan bahasa daerah mungkin terlihat rumit, maka dari itu butuh kerja sama antara yang mengajarkan dan yang belajar. Kedua pihak harus mempunyai keinginan untuk melestarikan bahasanya. Jadi, kalau berbicara tentang siapa yang harus disalahkan atas ketidakbisaan anak muda dalam berbahasa daerah, mungkin akan ada banyak pihak yang bisa disalahkan. Daripada saling menyalahkan, yuk kita sama-sama melakukan peran dalam melestarikan bahasa daerah!

Referensi

Direktorat Sekolah Dasar. (2022, February 23). Merevitalisasi Bahasa Daerah Agar Tidak Punah. Retrieved from: https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/merevitalisasi-bahasa-daerah-agar-tidak-punah 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  (2020). Gambaran Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia. Retrieved from: http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_4BC3AA5E-D2D8-4652-B03D-B769C7409F79_.pdf 

Suadi. (2015, February 16). Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah. Analisa Daily. Retrieved from: https://analisadaily.com/berita/arsip/2015/2/16/108999/pentingnya-melestarikan-bahasa-daerah/ 

The Asian Parent. (n.d). Pentingnya anak belajar bahasa ibu, ini 4 alasannya!. Retrieved from: https://id.theasianparent.com/mengajari-anak-bahasa-ibu